Jumat, 13 Juli 2012

Suap Pajak dan Kutukan Sisifus

Oleh Dody Radityo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sejak awal Juni lalu, lebih dari 300 unit kerja vertikal di bawah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaksanakan kegiatan values gathering yang bertujuan menyebarluaskan upaya dan komitmen DJP untuk mencapai target penerimaan pajak dengan integritas dan tidak melakukan korupsi. Hampir bersamaan dengan kegiatan tersebut, media massa sejak 6 Juni 2012 ramai memberitakan penangkapan pegawai DJP, Tommy Hindratno, dalam kasus suap pajak yang ditengarai melibatkan PT Bhakti Investama, Tbk.

Values gathering tersebut dilaksanakan untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat luas, upaya-upaya dan capaian DJP dalam menegakkan reformasi birokrasi. Salah satu capaian yang hendak ditunjukkan DJP adalah keberhasilan menurunkan indeks suap. Hasil survei Transparency International Indonesia
yang dijadikan rujukan menyebutkan DJP menempati peringkat 12 dari 15 institusi publik, turun dari 23% pada 2006 menjadi 14% pada tahun 2008. Sekali lagi, pada saat hampir bersamaan, lembaga riset independen Soegeng Sarjadi Syndicate mempublikasikan hasil survei yang menunjukkan DJP merupakan lembaga terkorup ke dua (21,4%), hanya kalah dari DPR. Hasil survei tersebut mungkin “menguntungkan” DJP mengingat survei dilaksanakan 14-24 Mei 2012, sebelum kasus suap Tommy Hindratno terungkap.
Urutan peristiwa yang terjadi dan “menimpa” DJP mengingatkan pada Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali, mendorongnya kembali, dan seterusnya. Citra baik DJP yang mulai terbentuk melalui upaya keras melakukan perbaikan, kembali menggelinding ke titik terendah ketika terungkap kasus korupsi yang melibatkan pegawai DJP. Hal tersebut terjadi sejak kasus yang melibatkan Gayus Tambunan dan terus berulang seiring terungkapnya kasus Bahasyim Assifie, Dhana Widyatmika, hingga terakhir menimpa Tommy Hindratno.
Pola yang berulang terus menerus tersebut berimplikasi pada semakin susahnya mendorong kembali batu karang ke puncak gunung ketika kasus kembali terjadi. Kasus yang terjadi berkali-kali menimbulkan beban mental yang semakin berat bagi pegawai DJP untuk bangkit kembali. Label koruptor dilekatkan kepada pegawai DJP, dan bahkan kantor pusat DJP oleh sebagian masyarakat disebut sebagai “kantor Gayus”. Untuk itu, beberapa waktu terakhir DJP melaksanakan program penguatan mental sebagai upaya memelihara semangat dan menghindari demotivasi pegawai DJP yang dapat berdampak pada pencapaian target penerimaan negara.
Namun permasalahan yang harus dijawab bukan hanya bagaimana memunculkan semangat pegawai DJP untuk mendorong kembali batu ke puncak gunung, tetapi juga memulihkan kepercayaan masyarakat kepada institusi DJP. Ketidakpercayaan masyarakat (yang juga wajib pajak) dapat menimbulkan keengganan dalam membayar pajak. Berbagai kasus yang melibatkan pegawai DJP dapat menyebabkan masyarakat menilai bahwa institusi DJP merupakan institusi yang korup dan tidak serius melakukan reformasi.
Padahal sebenarnya, meskipun terjadi beberapa kali, kasus korupsi yang melibatkan pegawai DJP memiliki karakteristik dan modus yang berbeda. Kasus Tommy Hindratno misalnya, memiliki perbedaan yang signifikan dengan kasus-kasus yang terjadi sebelumnya. Sebagaimana dituturkan Dirjen Pajak, pengungkapan kasus Tommy Hindratno merupakan kerjasama antara DJP dan KPK. Wartawan dan penulis kolom, Metta Dharmasaputra, membenarkan penyataan Dirjen Pajak, dan memberikan apresiasi atas upaya whistleblowing yang diterapkan DJP (Koran Tempo, 20 Juni 2012).
Adanya unsur whistleblowing yang tidak banyak disampaikan oleh media massa dapat menyebabkan pemahaman bahwa kasus Tommy Hindratno hanyalah kasus Gayus edisi ke sekian. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya informasi dari DJP. Dapat dimengerti bahwa menyebarluaskan informasi whistleblowing adalah hal yang problematis, mengingat whistleblowing diiringi keharusan memberikan perlindungan dan merahasiakan identitas peniup peluit. Menyebarluaskan informasi yang mengandung rahasia bukan merupakan hal mudah, dan terkesan paradoksal.
Problematika semacam itu tidak hanya dimiliki oleh DJP, dan dapat belajar dari KPK yang memiliki permasalahan serupa. Masyarakat sering menuntut KPK memberikan informasi capaian kinerja dalam pemberantasan korupsi, terutama terkait kasus yang telah ramai diberitakan oleh media massa.  Namun seringkali KPK harus “menyembunyikan” informasi terkait prestasi yang telah dicapai demi menjaga apa yang sering disebut sebagai strategi penyelidikan. Ketentuan pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak memberikan kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan, menyebabkan KPK harus bertindak ekstra hati-hati dan tidak terburu-buru. Kehati-hatian ini sering disalahartikan masyarakat sebagai kelambanan atau ketidakseriusan mengungkap kasus tindak pidana korupsi.
Satu hal yang kemudian dilakukan KPK adalah konsisten memberikan bukti dengan terus menerus mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi. Memang terdapat jeda waktu antara harapan masyarakat dengan pengungkapan yang dilakukan KPK, karena ada ketentuan hukum yang harus ditaati oleh KPK. Agaknya masyarakat telah memahami hal tersebut dan tetap percaya pada kinerja KPK. Mengalirnya simpati masyarakat dalam kasus pembangunan gedung baru KPK merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan kepercayaan masyarakat pada kinerja KPK.
Berkaca dari hal tersebut, yang harus dilakukan DJP adalah konsisten dalam memberikan bukti bahwa upaya perbaikan terus menerus dilakukan. Whistleblowing harus terus ditingkatkan karena dapat sekaligus membuktikan keinginan dari dalam DJP untuk melakukan reformasi. Selain itu, informasi dari “orang dalam” merupakan unsur yang signifikan dalam pengungkapan kasus pajak. Sebuah studi terhadap kasus manipulasi perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan terungkapnya kasus sebagian besar berasal dari informasi pegawai (19,2%), melebihi peran media dan regulator (16%) serta auditor (14,1%).
Perbaikan yang dilakukan tidak hanya sebatas pemberantasan, namun juga pada tahap pencegahan. Salah satunya adalah menggandeng KPK untuk melakukan audit terhadap proses bisnis yang dilaksanakan DJP. Keseriusan membuktikan transparansi dan akuntabilitas DJP tersebut semestinya disertai publikasi yang massif melalui media massa. Peran media massa yang signifikan dalam pembentukan opini masyarakat harus dilihat sebagai peluang untuk menjalin sinergi mengingat DJP dan media massa memiliki kepentingan yang sama yaitu mewujudkan DJP sebagai institusi yang bersih dari praktek korupsi.
Kemunculan petinggi DJP seperti Dirjen Pajak dan Direktur P2 dan Humas di media massa segera setelah terungkapnya sebuah kasus adalah sesuatu yang perlu apresiasi karena menunjukkan sikap responsif. Hal yang perlu ditingkatkan adalah strategi komunikasi yang selama ini terkesan sangat formal. Kalimat seperti “Kita serahkan semuanya kepada aparat yang berwenang untuk menindak sesuai hukum yang berlaku” adalah contoh hal yang perlu dihindari. Pernyataan tersebut memang secara substantif benar, namun bagi media massa “bukanlah” berita.
Untuk dapat menjalin sinergi yang strategis dengan media massa, DJP perlu memahami “kebutuhan” media massa. Bagi media massa, sesuatu layak menjadi berita jika memenuhi beberapa kriteria seperti unusualness. Hal ini menjelaskan mengapa gaya “koboi” Dahlan Iskan lebih menarik perhatian media massa dibandingkan dengan politisi yang lain. Dalam konteks DJP, pendekatan yang dilakukan bisa diubah misalnya dengan pernyataan “Kami sudah menawari KPK untuk memberikan data yang diperlukan untuk proses penyidikan” atau “Kami telah melaksanakan pemeriksaan disiplin PNS, agar dapat menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat”.
Pernyataan-pernyataan yang diikuti dengan realisasi akan memberikan bukti bahwa DJP serius melaksanakan reformasi. Jika hal-hal tersebut di atas konsisten dilaksanakan, tidak akan sulit bagi DJP untuk menuai kepercayaan masyarakat. Pada akhirnya DJP dapat terlepas dari kutukan, dan dapat fokus untuk berjuang mencapai target penerimaan negara.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar